PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Tunanetra (SLB-A)
I. Pengertian dan Klasifikasi
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tuna netra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.
Klasifikasi :
1. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir
b. Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
c. Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja
d. Tunanetra pada usia dewasa
e. Tunanetra dalam usia lajut.
2. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan:
a. Tunanetra ringan
b. Tunanetra setengah berat.
c. Tunanetra berat.
3. Berdasarkan pemeriksaan klinik.
4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:
a. Myopia;adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina.
b. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina.
c. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidak beresan pada kornea mata.
II. Penyebab
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal Sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
2. Post-natal
Faktor penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir, antara lain: kerusakan pada mata atau syaraf mata pada waktu persalinan hamil ibu menderita penyakit gonorrhoe, penyakit mata lain yang menyebabkan ketunanetraan, seperti trachoma,dan akibat kecelakaan.
III. Karakteristik
1. Tunanetra
a. Fisik
Keadan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.perbedaan nyata diantaranya mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara lain: mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan sebagainya.
b. Perilaku
1) Beberapa gejala tingkah laku pada anak yang mengalami gangguan penglihatan dini antara
lain; berkedip lebih banyak dari biasanya. menyipitkan mata, tidak dapat melihat benda-
benda yang agak jauh.
2) Adanya keluhan-keluhan antara lain : mata gatal, panas, pusing, kabur atau penglihatan ganda.
c. Psikis
1) Mental/Intelektual
Tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pda batas atas sampai batas bawah.
2) Sosial
Kadangkala ada keluarga yang belum siap menerima anggota keluarga yang tuna netra sehingga menimbulkan ketegangan/gelisah di antara keluarga. Seorang tunanetra biasanya mengalami hambatan kepribadian seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan ketergantungan yang berlebihan.
2. Low Vision
Ciri-ciri antara lain :
a. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat
b. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar
c. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
IV. Alat Pendidikan
1. Tunanetra
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan khusus, alat Bantu peraga dan alat peraga.
a. Alat Pendidikan Khusus :
Reglet dan pena
Mesin tik Baille
Printer Braille
abacus
b. Alat Bantu
Alat bantu perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
Alat Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c. Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta timbul)
2. Low Vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri dari alat Bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca mata pembesaran dan alat peraga.
a. Alat Bantu Optik :
Kaca mata
Kaca mata perbesaran
Hand magnifer
b. Alat Bantu
Kertas bergaris besar
Spidol hitam
Lampu meja
Penyangga buku
c. Alat Peraga
Gambar yang diperbesar
Benda asli yang diawetkan
Patung / benda model tiruan
V. Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan yang dibutuhkan antra lain :
1. Guru
2. Psikolog
3. Dokter mata
4. Optometris
VI. Layanan Pendidikan
1. Jenjang Pendidikan dan lama pendidikan :
a. TKKh/TKLB : 3 tahun
b. SDKh/SDLB : 6 tahun
c. SMPKh/SMPLB : 3 tahun
d. SMAKh/SMALB : 3 tahun
2. Model Pendidikan
a. Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalh pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistemik.
Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalahkurikulum yang fleksibelyang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
b. Pendidikan Khusus (SLB)
Pendidikan Khusus (SLB) adalah lembaga pendidikan yang menyeleng-garakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Guru Kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit dijangkau, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita berkepanjuangan , dan lain-lain.
VII. Teknologi Pendukung
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah banyak digunakan untuk membantu para tunanetra. Penggunaan program seperti JAWS (pembaca layar) membuat pengoperasian komputer menjadi dimungkinkan oleh para tunanetra. Kegiatan membaca buku yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra selain menggunakan huruf braille, kini dapat dilakukan dengan bantuan alat pemindai (bahasa Inggris: scanner).
Dengan menggunakan perangkat tersebut pada komputer yang telah dilengkapi dengan piranti lunak pembaca layar, pengguna cukup meletakkan buku di atas kaca pemindai dan program akan langsung membacanya dari teks yang direproduksi oleh komputer.
Tunarungu (SLB-B)
I. Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu
Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.
Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
II. Karakteristik Anak Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik
Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu
cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya.
Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menyesuaikan diri, serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi.
Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri.
Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang lain.
Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai berikut.
Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian dalam terganggu), gerak matanya lebih cepat, gerakan tangannya cepat/lincah, dan pernafasannya pendek, sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama dengan orang yang normal lainnya.
III. Kebutuhan Pendidikan dan Layanan Anak Tunarungu
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem sgregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.
Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama dengan siswa mendengar atau normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, serta untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu, harus memperhatikan prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan pedagogis. Sedangkan alat evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat evaluasi umum yang digunakan dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi khusus yang digunakan dalam pembelajaran di kelas khusus dan ruang bimbingan khusus.
IV. Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
V. Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1. Pendekatan Auditori Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
2. Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi.
Tunagrahita (SLB-C)
I. Definisi
American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Japan League for Mentally Retardeddalam B3PTKSM mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita ialah fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan dalam perilaku adaptif; dan terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Definisi tunagrahita yang dipublikasikan oleh American Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal tahun 60-an, tunagrahita merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan keterbatasan pada keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area : komunikasi, merawat diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri, functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi ini, ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun. Menurut WHO seorang tunagrahita memiliki dua hal yang esensial yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tututan yang berlaku dalam masyarakat.
Adapun cara mengidentifikasi seorang anak termasuk tunagrahita yaitu melalui beberapa indikasi sebagai berikut:
· Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar,
· Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
· Perkembangan bicara/bahasa terlambat
· Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
· Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
· Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).
II. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strtegi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain;
· Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
· Strategi kooperatif
· Strategi modifikasi tingkah laku
Tunadaksa (SLB-D)
I. Pengertian, dan Klasifikasi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang dan “daksa” yang berarti tubuh. Tuna daksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Ortopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian. Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi :
1. Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat
menolong diri,
2. Sedang, dengan ciri-ciri : membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace, dan
3. Berat, dengan cirri-ciri : membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan
menolong diri.
Menurut letak kelainan otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas :
1. Pastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya,
2. Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak
terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor
(getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau kepala),
3. Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak
berfungsi,
4. Jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut :
1. Poliomyelitis
Ini merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi :
a. Tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan
dan kaki
b. Tipe bulbeir, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan
ditandai adanya gangguan pernapasan
c. Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
d. Encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang-kadang kejang
2. Mucle Distrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketuna grahitan.
II. TEMPAT PENDIDIKAN
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan jumlah didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tuna daksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.
1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residentila School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang derajat kelainannya berat dan
sangat berat.
2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tuna daksa yang memiliki kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tuna daksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogeny
dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tuna daksa dengan anak normal, pada
mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tuna daksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.
5. Kelas regular Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive
Instructional Service)
Anak tuna daksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah umum dengan
bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class
Placement with Consulting Service for Reguler Teacher)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
7. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang memilki kecerdasan normal,
memiliki dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.
III. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut :
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi
kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (moral pancasila,
agama,disiplin,perasaan,emosi,dan kemampuan bermasyarakat), Pengembangan Bahasa,
Daya pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang diterima
sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia
anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas : Program Umum, meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS,IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya
3tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas
Program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan,Pendidikan Agama,Bahasa
Indonesia, Matematika,IPA, IPS,Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris,
Program Khusus (Bina diri dan bina gerak), Program Muatan Lokal (bahasa
daerah,kesenian daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun, dan
siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya, meliputi program umum
sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa,
Pertanian,Usaha dan perkantoran, kerumah tanggaan, dan kesenian. Di jenjang ini, anak
tuna daksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal
hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk setiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran keterampilan dan praktek lebih banyak dari pada pelajaran lainnya, dan SMLB lama pelajaran sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
IV. Prinsip Pembelajaran
Prinsip Pembelajaran Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa sebagai berikut :
a. Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anaka tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tuna daksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensory, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
b. Prinsip Individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
V. PERSONEL
Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anaka tunadaksa adalah sebagai berikut :
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan anak tuna daksa
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan, kesenian
3. Guru sekolah biasa
4. Dokter umum
5. Dokter ahli ortopedi
6. Neurolog
7. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist, dan bimbingan konseling.
VI. Alat Bantu untuk Tuna Daksa
Anak tuna daksa mengalami gangguan motorik dan mobilitas,intelegensi, baik secara sebagian atau keseluruhan.Hal yang penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan keadaanya.Alat yang digunakan dalam belajar/ akademik :
a. Kartu abjad
Kita bisa memperlihatkan warna pada bentuk abjad itu atau memilih warna yang
disukainya. Semisalnya abjad itu huruf “C” maka kita dapat memberikan contoh dengan
menjelaskan bentuk bulan sabit dan pada abjad tersebut dengan warna yang bermacam-
macam ataupun yang disukainya. Begitu juga dengan huruf “O” maka kita dapat
memeberi penjelasan dengan contoh bentuk suatu beola dan bentuk-bentuk lingkaran.
b. Kartu kata
Kita bisa mengenalkan anak dengan disajikannya gambar wortel, apel, hewan-hewan
yang bertuliskan dibawah gambar tersebut menurut masing-masing gambar.
c. Kartu kalimat
Kita dapat menggabungkan suatu objek yang beruba gambar-gambar yang berisi tentang
suatu kegiatan contohnya ibu sedang memasak, orang yang sedang memancing. Nah, dari
gambar-gambar itu dapat dijadikan suatu kalimat dan disajikan kartu kalimatnya sebagai
kunci jawabannya.
d. Torso seluruh badan
e. Geometri sharpe
f. Menara gelang yaitu anak dapat melatik gerakan otot-otot secara
g. Menara segetiga sederhana. Misalnya keatas, kebawah, kesamping dan
h. Menara segiempat ditingkatkan dengan gerakan yang menyenangkan
i. Papan pasak dengan alat bantu berupa mainan-mainan yaitu menara gelang, menara
segitiga, menara segiempat, dan papan pasak.
j. Gelas rasa
k. Botol aroma
l. Abacus dan washer
m. Kotak bilangan
Fungsi pembelajaran kotak bilangan untuk melatih motoriknya dalam kognitif contohnya
suatu bentuk-bentuk yang disetiap sisinya ada bertuliskan angka-angka sehingga
pengenalan angka itu akan lebih menarik.
TUNALARAS (SLB-E)
1. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
2. Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
· Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut:
§ Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual, sensori atau kesehatan.
§ Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.
§ Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
§ Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.
§ Bertendensi ke arah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi berikut:
§ Bersikap membangkang,
§ Mudah terangsang emosinya,
§ Sering melakukan tindakan aggresif,
§ Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
3. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
· Model biogenetic
· Model behavioral/tingkah laku
· Model psikodinamika
· Model ekologis
Tunanetra (SLB-A)
I. Pengertian dan Klasifikasi
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tuna netra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.
Klasifikasi :
1. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir
b. Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
c. Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja
d. Tunanetra pada usia dewasa
e. Tunanetra dalam usia lajut.
2. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan:
a. Tunanetra ringan
b. Tunanetra setengah berat.
c. Tunanetra berat.
3. Berdasarkan pemeriksaan klinik.
4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:
a. Myopia;adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina.
b. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina.
c. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidak beresan pada kornea mata.
II. Penyebab
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal Sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
2. Post-natal
Faktor penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir, antara lain: kerusakan pada mata atau syaraf mata pada waktu persalinan hamil ibu menderita penyakit gonorrhoe, penyakit mata lain yang menyebabkan ketunanetraan, seperti trachoma,dan akibat kecelakaan.
III. Karakteristik
1. Tunanetra
a. Fisik
Keadan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.perbedaan nyata diantaranya mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara lain: mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan sebagainya.
b. Perilaku
1) Beberapa gejala tingkah laku pada anak yang mengalami gangguan penglihatan dini antara
lain; berkedip lebih banyak dari biasanya. menyipitkan mata, tidak dapat melihat benda-
benda yang agak jauh.
2) Adanya keluhan-keluhan antara lain : mata gatal, panas, pusing, kabur atau penglihatan ganda.
c. Psikis
1) Mental/Intelektual
Tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pda batas atas sampai batas bawah.
2) Sosial
Kadangkala ada keluarga yang belum siap menerima anggota keluarga yang tuna netra sehingga menimbulkan ketegangan/gelisah di antara keluarga. Seorang tunanetra biasanya mengalami hambatan kepribadian seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan ketergantungan yang berlebihan.
2. Low Vision
Ciri-ciri antara lain :
a. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat
b. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar
c. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
IV. Alat Pendidikan
1. Tunanetra
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan khusus, alat Bantu peraga dan alat peraga.
a. Alat Pendidikan Khusus :
Reglet dan pena
Mesin tik Baille
Printer Braille
abacus
b. Alat Bantu
Alat bantu perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
Alat Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c. Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta timbul)
2. Low Vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri dari alat Bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca mata pembesaran dan alat peraga.
a. Alat Bantu Optik :
Kaca mata
Kaca mata perbesaran
Hand magnifer
b. Alat Bantu
Kertas bergaris besar
Spidol hitam
Lampu meja
Penyangga buku
c. Alat Peraga
Gambar yang diperbesar
Benda asli yang diawetkan
Patung / benda model tiruan
V. Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan yang dibutuhkan antra lain :
1. Guru
2. Psikolog
3. Dokter mata
4. Optometris
VI. Layanan Pendidikan
1. Jenjang Pendidikan dan lama pendidikan :
a. TKKh/TKLB : 3 tahun
b. SDKh/SDLB : 6 tahun
c. SMPKh/SMPLB : 3 tahun
d. SMAKh/SMALB : 3 tahun
2. Model Pendidikan
a. Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalh pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistemik.
Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalahkurikulum yang fleksibelyang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
b. Pendidikan Khusus (SLB)
Pendidikan Khusus (SLB) adalah lembaga pendidikan yang menyeleng-garakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Guru Kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit dijangkau, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita berkepanjuangan , dan lain-lain.
VII. Teknologi Pendukung
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah banyak digunakan untuk membantu para tunanetra. Penggunaan program seperti JAWS (pembaca layar) membuat pengoperasian komputer menjadi dimungkinkan oleh para tunanetra. Kegiatan membaca buku yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra selain menggunakan huruf braille, kini dapat dilakukan dengan bantuan alat pemindai (bahasa Inggris: scanner).
Dengan menggunakan perangkat tersebut pada komputer yang telah dilengkapi dengan piranti lunak pembaca layar, pengguna cukup meletakkan buku di atas kaca pemindai dan program akan langsung membacanya dari teks yang direproduksi oleh komputer.
Tunarungu (SLB-B)
I. Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu
Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.
Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
II. Karakteristik Anak Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik
Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu
cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya.
Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menyesuaikan diri, serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi.
Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri.
Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang lain.
Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai berikut.
Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian dalam terganggu), gerak matanya lebih cepat, gerakan tangannya cepat/lincah, dan pernafasannya pendek, sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama dengan orang yang normal lainnya.
III. Kebutuhan Pendidikan dan Layanan Anak Tunarungu
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem sgregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.
Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama dengan siswa mendengar atau normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, serta untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu, harus memperhatikan prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan pedagogis. Sedangkan alat evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat evaluasi umum yang digunakan dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi khusus yang digunakan dalam pembelajaran di kelas khusus dan ruang bimbingan khusus.
IV. Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
V. Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1. Pendekatan Auditori Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
2. Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi.
Tunagrahita (SLB-C)
I. Definisi
American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Japan League for Mentally Retardeddalam B3PTKSM mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita ialah fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan dalam perilaku adaptif; dan terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Definisi tunagrahita yang dipublikasikan oleh American Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal tahun 60-an, tunagrahita merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan keterbatasan pada keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area : komunikasi, merawat diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri, functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi ini, ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun. Menurut WHO seorang tunagrahita memiliki dua hal yang esensial yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tututan yang berlaku dalam masyarakat.
Adapun cara mengidentifikasi seorang anak termasuk tunagrahita yaitu melalui beberapa indikasi sebagai berikut:
· Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar,
· Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
· Perkembangan bicara/bahasa terlambat
· Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
· Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
· Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).
II. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strtegi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain;
· Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
· Strategi kooperatif
· Strategi modifikasi tingkah laku
Tunadaksa (SLB-D)
I. Pengertian, dan Klasifikasi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang dan “daksa” yang berarti tubuh. Tuna daksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Ortopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian. Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi :
1. Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat
menolong diri,
2. Sedang, dengan ciri-ciri : membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace, dan
3. Berat, dengan cirri-ciri : membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan
menolong diri.
Menurut letak kelainan otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas :
1. Pastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya,
2. Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak
terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor
(getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau kepala),
3. Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak
berfungsi,
4. Jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut :
1. Poliomyelitis
Ini merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi :
a. Tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan
dan kaki
b. Tipe bulbeir, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan
ditandai adanya gangguan pernapasan
c. Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
d. Encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang-kadang kejang
2. Mucle Distrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketuna grahitan.
II. TEMPAT PENDIDIKAN
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan jumlah didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tuna daksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.
1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residentila School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang derajat kelainannya berat dan
sangat berat.
2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tuna daksa yang memiliki kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tuna daksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogeny
dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tuna daksa dengan anak normal, pada
mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tuna daksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.
5. Kelas regular Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive
Instructional Service)
Anak tuna daksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah umum dengan
bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class
Placement with Consulting Service for Reguler Teacher)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
7. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang memilki kecerdasan normal,
memiliki dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.
III. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut :
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi
kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (moral pancasila,
agama,disiplin,perasaan,emosi,dan kemampuan bermasyarakat), Pengembangan Bahasa,
Daya pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang diterima
sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia
anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas : Program Umum, meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS,IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya
3tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas
Program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan,Pendidikan Agama,Bahasa
Indonesia, Matematika,IPA, IPS,Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris,
Program Khusus (Bina diri dan bina gerak), Program Muatan Lokal (bahasa
daerah,kesenian daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun, dan
siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya, meliputi program umum
sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa,
Pertanian,Usaha dan perkantoran, kerumah tanggaan, dan kesenian. Di jenjang ini, anak
tuna daksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal
hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk setiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran keterampilan dan praktek lebih banyak dari pada pelajaran lainnya, dan SMLB lama pelajaran sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
IV. Prinsip Pembelajaran
Prinsip Pembelajaran Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa sebagai berikut :
a. Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anaka tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tuna daksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensory, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
b. Prinsip Individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
V. PERSONEL
Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anaka tunadaksa adalah sebagai berikut :
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan anak tuna daksa
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan, kesenian
3. Guru sekolah biasa
4. Dokter umum
5. Dokter ahli ortopedi
6. Neurolog
7. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist, dan bimbingan konseling.
VI. Alat Bantu untuk Tuna Daksa
Anak tuna daksa mengalami gangguan motorik dan mobilitas,intelegensi, baik secara sebagian atau keseluruhan.Hal yang penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan keadaanya.Alat yang digunakan dalam belajar/ akademik :
a. Kartu abjad
Kita bisa memperlihatkan warna pada bentuk abjad itu atau memilih warna yang
disukainya. Semisalnya abjad itu huruf “C” maka kita dapat memberikan contoh dengan
menjelaskan bentuk bulan sabit dan pada abjad tersebut dengan warna yang bermacam-
macam ataupun yang disukainya. Begitu juga dengan huruf “O” maka kita dapat
memeberi penjelasan dengan contoh bentuk suatu beola dan bentuk-bentuk lingkaran.
b. Kartu kata
Kita bisa mengenalkan anak dengan disajikannya gambar wortel, apel, hewan-hewan
yang bertuliskan dibawah gambar tersebut menurut masing-masing gambar.
c. Kartu kalimat
Kita dapat menggabungkan suatu objek yang beruba gambar-gambar yang berisi tentang
suatu kegiatan contohnya ibu sedang memasak, orang yang sedang memancing. Nah, dari
gambar-gambar itu dapat dijadikan suatu kalimat dan disajikan kartu kalimatnya sebagai
kunci jawabannya.
d. Torso seluruh badan
e. Geometri sharpe
f. Menara gelang yaitu anak dapat melatik gerakan otot-otot secara
g. Menara segetiga sederhana. Misalnya keatas, kebawah, kesamping dan
h. Menara segiempat ditingkatkan dengan gerakan yang menyenangkan
i. Papan pasak dengan alat bantu berupa mainan-mainan yaitu menara gelang, menara
segitiga, menara segiempat, dan papan pasak.
j. Gelas rasa
k. Botol aroma
l. Abacus dan washer
m. Kotak bilangan
Fungsi pembelajaran kotak bilangan untuk melatih motoriknya dalam kognitif contohnya
suatu bentuk-bentuk yang disetiap sisinya ada bertuliskan angka-angka sehingga
pengenalan angka itu akan lebih menarik.
TUNALARAS (SLB-E)
1. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
2. Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
· Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut:
§ Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual, sensori atau kesehatan.
§ Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.
§ Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
§ Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.
§ Bertendensi ke arah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi berikut:
§ Bersikap membangkang,
§ Mudah terangsang emosinya,
§ Sering melakukan tindakan aggresif,
§ Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
3. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
· Model biogenetic
· Model behavioral/tingkah laku
· Model psikodinamika
· Model ekologis